Senin, 20 Januari 2014

ADU PACUAAN KUDA DI MUNA TERANCAM PUNAH


PACUAN kuda tentunya sudah familiar terdengar. Di negara manapun, kuda diperlombakan untuk adu kecepatan. Namun di Muna, Sulawesi Tenggara kuda diperkelahikan. Tradisi ini sudah lama berlangsung sejak pemerintahan di Muna masih kerajaan. Atraksi perkelahian kuda digelar untuk hiburan masyaraka, baik memasuki musim tanam atau panenan dan hajatan lain. Tradisi tersebut kini masih tetap dilestarikan di Kecamatan Lawa.Suara ringkikan kuda menggema berkali-kali ditanah lapang Wakantei, Desa Latugho, Kecamatan Lawa. Kuda-kuda tersebut lagi diadu, diperkelahikan satu dengan yang lainnya. Setiap kali kaki-kaki kuda saling menendang dan bertemu di udara, sorakan penontong membahana. Beberapakali penonton harus lari berhamburan menyelamatkan diri, ketika kuda lari menuju ke arah mereka.Sementara itu Abdul Karim (72)  dan La Ode Ngorugoru (61), pawang kuda-kuda yang berkelahi tersebut, terus berteriak memberi komando kepada pemegang tali kekang kuda, setiap kali kuda-kuda beradu tendangan di udara atau ketika kuda tidak lagi berkelahi.Perintahnya ketika kuda sudah saling mengigit, agar pemegang tali kekang menarik atau memisahkan kuda yang saling mengigit. Tujuannya agar kuda-kuda tersebut tida  saling melukai, hanya beradu tendangan di udara. Begitu juga ketika kuda sudah tak lagi berkelahi, agar si pemegang kekang kuda menarik kuda-kuda tersebut agar beradu kembali. Pemegang tali kekang kuda itu La Ode Abjina (42) anak Abdul Karim.
Bagaimana sehingga kuda-kuda itu bisa berkelahi. Kuda yang dapat diadu hanyalah kuda jantan dan telah berusia dewasa. Untuk mengetahui kuda jantan telah memasuki usia dewasa, dari munculnya gigi taring. Kuda-kuda jantan tersebut berkelahi mempertahankan kuda betina, yang hendak diambil oleh kuda jantan lawannya.
“Kuda jantan mempertahankan harga dirinya, karena pasangannya akan diambil,”ungkap Abdul Karim, menyampaikan “resep” memperkelahikan kuda.
Atraksi memperkelahikan kuda, cerita Abdul Karim, sudah ada sejak jaman dahulu kala, sejak sistem perintahan masih kerajaan. Perkelahian kuda kala itu diperagakan untuk menghibur tamu-tamu kerajaan, atau hiburan masyarakat menyambut hari besar lain. Misalnya, musim tanam atau musim panen.
Perkelahian kuda di mulai sejak kerajaan Muna dipimpin oleh Omputo Sangia. Kuda-kuda tersebut didatangkan dari daerah Sumbawa. Mereka hanya meneruskan tradisi yang telah ditinggalkan oleh para pendahulunya.
Tradisi memperkelahikan kuda, kini hanya ada di Kecamatan Lawa. Padahal sebelumnya, semua Kecamatan di Muna memiliki tradisi itu. Abdul Karim tidak tahu pasti, sehingga Kecamatan-Kecamatan lain tidak lagi melanjutkan tradisi tersebut. Di Lawa memperkelahikan kuda sudah menjadi ikon dan terus diwariskan dari generasi ke generasi. Ia sendiri belajar untuk memperkelahikan kuda sejak usia 17 tahun, belajar dari orang tuanya. Setiap kali orang tuanya diundang untuk mengadu kuda Ia selalu diajak. Ilmu tersebut kini diturunkan kepada anaknya La Ode Abjina.
Untuk atraksi perkelahian kuda, sambung koleganya La Ode Ngorugoru, tidak memiliki doa. “Kalau pakai doa, kudanya bisa tidak berkelahi,”timpalnya. Selama berpuluh tahun mengadu kuda, pria bergelar Kosangiano itu, tidak pernah mengalami cedera, kena tendangan kuda. Padahal potensi terkena tendangan kuda sangat terbuka, karena saat kuda berkelahi pawang kuda berada disamping kiri-kanan, depan dan belakang kuda. “Kita sudah tahu pergerakan kuda,”ungkapnya.
Atraksi perkelahian kuda, kata Dia, terus dipertahankan di Kecamatan Lawa, karena sudah menjadi ikon wisata. Banyak turis asing yang datang kesini (Lawa red), hanya untuk menyaksikan atraksi perkelahian kuda. Selain itu, setiap kali ada hajatan di Ibu Kota Kabupaten (Raha), mereka senantiasa dipanggil. “Saat HUT Sultra di Kendari, kami juga dipanggil untuk memperlihatkan atraksi perkelahian kuda,”ceritanya. Untuk mempertahankan tradisi tersebut, ilmu mengadu kuda diturunkan kepada anak-anak mereka.
La Ode Abjina, putra dari Abdul Karim, mengatakan, belajar mengadu kuda sejak umur 12 tahun. Awalnya dirinya menjadi joki, dalam setiap perlombaan balapan kuda. Saat memasuki SMA, Ia sudah mulai memegang tali kekang kuda atau berada disamping kiri-kanan kuda, saat berkelahi. Kini Abjina sudah mahir dalam mengadu kuda.  Selain dirinya, seorang saudaranya juga mengikuti jejak ayahnya.
“Tidak pakai belajar. Kita tahu dari ikut-ikut orang tua kami, setiap kali ada atraksi perkelahian kuda,”terangnya.
Dalam setiap perkelahian kuda, pasti ada saja kuda yang luka. Untuk mengobati kuda yang luka, kata Abdjina, mereka menggunakan isi baterai yang dicampur dengan minyak tanah. “Dua hari lukanya sudah kering,”timpalnya. Dalam setiap atraksi perkelahian kuda, tidak ada yang menang dan kalah. Karena atraksi itu hanya untuk hiburan rakyat.
Kuda-kuda di Lawa, kini berkisar 100 ekor saja. Itu yang membuat prihatin Abdul Karim dan La Ode Ngorungoru. Di Lawa untuk merawat kuda-kuda tidak membutuhkan perhatian lebih. Kuda-kuda tersebut cukup dilepas, ditanah lapang. Nanti pada malam hari baru dikandangkan. Tak jarang, ada anak kuda yang jatuh di sungai atau di sumur, hingga mati. Bila populasi kuda semakin kecil, bisa jadi suatu saat nanti atraksi perkelahian kuda akan hilang di Muna.
Camat Lawa, La Ode Saifuddin, menuturkan, Pemda Muna memberi perhatian pelestarian atraksi kuda di Kecamatan Lawa. Karena tradisi perkelahian kuda, sudah menjadi ikon Muna. “Lambang baju PNS Muna saja, kuda berkelahi,”katanya. Bentuk perhatian Pemda, baru-baru ini ada bantuan 10 ekor kuda betina. “Jumlahnya 20 ekor, tapi 10 ekor diberikan kepada masyakat parigi,”ujarnya. Untuk melestarikan perkelahian kuda, rencananya di Wakantei akan dibuat arena atraksi
perkelahian kuda dan pacuan kuda. “Lahannya sudah siap, milik Abdul Karim,”sebutnya. 
Sumber : (kendari pos/JPNN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar